Jakarta, HARIANRAKYAT -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif kembali menegaskan komitmen Indonesia dalam melawan perubahan iklim dan mengambil aksi global untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Arifin mengemukakan hal tersebut pada Pertemuan Clean Energy Ministerial ke-14 dan Mission Innovation ke-8 di Goa, India.
"Indonesia berkomitmen untuk melawan perubahan iklim dan mengambil aksi-aksi global untuk mengurangi emisi GRK. Kami telah membangun roadmap menuju Net Zero Emission (NZE) dalam rangka dekarbonisasi sistem energi pada 2060 atau lebih cepat dengan dukungan internasional," ujarnya, Jumat (21/7).
Untuk mencapai target NZE, imbuh Arifin, diperlukan dekarbonisasi suplai energi melalui optimalisasi pembangkit energi terbarukan, memperluas infrastruktur transmisi dan distribusi, pemanfaatan potensi carbon storage untuk menangkap emisi dari industri yang hard-to-abate, serta mengembangkan bahan bakar rendah karbon.
Arifin juga mengatakan bahwa sektor kelistrikan akan mencapai puncak emisi antara tahun 2035 dan 2040. "Namun kita akan dapat mencapainya lebih cepat apabila mendapat dukungan internasional," imbuhnya.
Untuk mencapai NZE, penggunaan teknologi yang mutakhir dan keberadaan industri pendukung sangat diperlukan. Tantangan saat ini adalah ketersediaan teknologi energi bersih dengan harga terjangkau.
"Kerja sama dan solusi dalam teknologi memiliki peran yang kritikal dalam dekarbonisasi sektor kelistrikan dan industri yang hard-to-abate. Adapun kendaraan listrik berbasis baterai menjadi teknologi kunci untuk menurunkan emisi di sektor transportasi," ujar Arifin.
Arifin menambahkan, Indonesia memiliki target 2 juta mobil listrika dan 13 juta sepeda motor listrik pada 2030 mendatang. Saat ini Pemerintah memberikan insentif kepada masyarakat dalam membeli kendaraan listrik baru maupun konversi sepeda motor berbahan bakar minyak menjadi sepeda motor listrik.
"Maka dari itu, ketersediaan baterai menjadi sangat krusial dalam menyukseskan program kendaraan listrik dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Kami mengharap investasi dan kerja sama untuk mengubah pengolahan nikel menjadi industri manufaktur baterai, memberikan nilai tambah bagi sumber daya mineral kita, dan menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia," ungkap Arifin.
Arifin juga menggarisbawahi peran CCS/CCUS untuk dekarbonisasi industri hulu migas dan sektor industri yang hard-to-abate, seperti semen dan petrokimia.
"Kami membutuhkan dukungan investasi dan penelitian bersama untuk mengembangkan potensi penyimpanan CO2 kami dari minyak dan gas yang habis dan akuifer garam dengan total kapasitas penyimpanan 12,2 miliar ton CO2. Kami memiliki 15 proyek CCS/CCUS yang akan beroperasi sebelum tahun 2030 dengan kapasitas penyimpanan hingga 68 juta ton CO2," jelasnya.
Selain itu, peran hidrogen hijau juga dapat dimanfaatkan untuk dekarbonisasi sektor hard-to-abate. Indonesia memiliki lebih dari 3.600 GW potensi energi terbarukan yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi hidrogen hijau untuk memenuhi permintaan domestik dan pasar ekspor.
"Untuk mempercepat pemanfaatan hidrogen, biaya hidrogen harus kompetitif. Hal ini dapat dicapai melalui pembentukan pasar perdagangan karbon global, dan kerja sama internasional untuk dukungan keuangan, berbagi teknologi, dan peningkatan kapasitas," ujar Arifin.
Dalam kesempatan tersebut, Arifin juga mengapresiasi negara-negara anggota International Partners Group untuk program Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia dalam upayanya mengakselerasi dekarbonisasi sektor kelistrikan melalui pensiun dini PLTU dan pengembangan infrastruktur pembangkit dan transmisi energi terbarukan.