Oleh : Desmond J. Mahesa

Berlarut-larutnya penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu tidak hanya menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan bagi mereka yang menjadi korbannya, tetapi juga menjadi beban bagi Pemerintah yang berkuasa.

Karena secara konstitusional Pemerintah diberikan mandat untuk bisa menyelesaikan kasus kasus HAM tersebut secara adil dan transparan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Sejak tumbangnya orde baru sudah ada enam Presiden yang memimpin Indonesia.

Hampir semua presiden itu berkomitmen untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia. Namun Presiden boleh silih berganti tetapi pekerjaan rumah kasus HAM nyatanya seperti terkatung katung penyelesaiannya.

Barangkali karena tidak ingin kinerjanya disebut sama saja dengan Presiden Presiden sebelumnya maka Presiden yang berkuasa sekarang bertekad untuk segera menyelesaikan permasalahan HAM berat di Indonesia.

Maka dikeluarkanlah Keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu sebagaimana diatur dalam Kepres No. 17 Tahun 2022 (Keppres PPHAM).

Apa sebenarnya tugas  Tim Pelaksana dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Masa Lalu (PPHAM)  yang diatur oleh Perpres No. 17 Tahun 2022 ?

Mengapa Keppres ini dinilai kontroversial dalam menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM berat di Indonesia ?
Apakah tidak sebaiknya Keppres ini dibatalkan saja ?.


Tugas PPHAM

Berdasarkan Keppres No. 17 /2022, Tugas dari Tim ini tertuang dalam pasal tiga, yaitu (a) melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian nonyudisial pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu berdasarkan data rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional Hak Assasi Manusia sampai dengan tahun 2020, (b) merekomendasikan pemulihan bagi korban dan keluarganya, dan (c) merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia berat tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Dilanjutkan dalam pasal empat bahwa rekomendasi pemulihan meliputi (a) rehabilitasi fisik, (b) bantuan sosial, (c) jaminan kesehatan, (d) bea-siswa, dan (d) rekomendasi lainnya untuk kepentingan korban atau keluarganya.

Berdasarkan Keppres tersebut, pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM meliputi latar belakang hingga dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa pelanggaran hak asasi manusia.

Pengungkapan dan analisis pelanggaran HAM berat masa lalu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dilakukan dengan mengungkap peristiwanya, meliputi: latar belakang; sebab akibat; faktor pernicunya; identifikasi korban; dan dampak yang ditimbulkan, Sebagaimana termaktub dalam Pasal 10 Ayat (1) Keppres 17/2022.

Kemudian, dalam Pasal 10 Ayat (2) Keppres 17/2022, disebutkan bahwa pengungkapan tersebut merupakan bagian dari upaya pemulihan kepada korban atau keluarganya dan mencegah agar pelanggaran HAM serupa tidak terulang di masa yang akan datang.

Di samping mengungkap dan menganalisis pelanggaran HAM berat, Tim Pelaksana PPHAM memiliki tiga tugas lain, yakni mengusulkan rekomendasi langkah pemulihan bagi para korban atau keluarganya.

Kemudian, mengusulkan rekomendasi untuk mencegah agar pelanggaran HAM yang serupa tidak terulang, serta menyusun laporan akhir.

Keppres 17/2022 juga mengatur keberadaan Tim Pengarah sebagai bagian dari Tim PPHAM di samping Tim Pelaksana. Dalam Pasal 8 diatur bahwa Tim Pengarah bertugas memberikan arahan kebijakan kepada Tim Pelaksana, memantau perkembangan pelaksanaan tugas Tim Pelaksana, serta menetapkan rekomendasi.

Adapun masa kerja Tim PPHAM mulai berlaku sejak Keppres 17/2022 ditetapkan pada 26 Agustus 2022 sampai dengan tanggal 31 Desember 2022. Namun, masa kerja Tim PPHAM dapat diperpanjang dengan keputusan Presiden.

Sebelumnya, saat berpidato dalam Sidang Tahunan MPR pada 16 Agustus 2022 lalu, Presiden Jokowi mengaku sudah menandatangani Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Sebagai tindaklanjut Keppres No. 17/2022, Menkopolhukan Mahfud MD menemui 11 orang yang tergabung dalam tim rekonsiliasi untuk menuntaskan sebanyak 13 kasus hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia.

Adapun 13 kasus HAM berat itu antara lain adalah, peristiwa 1965-1966 pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia, lalu peristiwa Talangsari 1989, peristiwa Trisakti, peristiwa semanggi I dan II, peristiwa kerusuhan Mei 1998, lalu penghilangan orang secara paksa dalam kurun waktu 1997-1998.

Kemudian peristiwa Wasior di Wamena Papua, pembantaian massal dukun di Banyuwangi pada 1998-1999, Insiden Simpang KKA, Aceh tahun 1999, Jambu Keupok Aceh tahun 2003, peristiwa Rumah Geudong di rentang waktu 1989-1998, dan Painai Papua 2004.



Sarat Kontroversi

Terbitnya Kepres No. 17/2022 telah memantik reaksi dari beberapa Lembaga yang tergerak untuk mengkritisinya seperti SETARA Institute, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), Koalisi Masyarakat Sipil seperti KontraS, Imparsial, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, PBHI, Amnesty International Indonesia, INSERSIUM, Persaudaraan Alumni 212  dan yang lain lainnya.
Mereka mencoba bersuara kritis atas kebijakan pemerintah menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat dimasa lalu melalui Kepres No. 17/2022. Beberapa kritik yang disampaikan terkait dengab Kepres tersebut diantaranya:
Pertama, Keppres No. 17/2022 dinilai sebagai instrumen pembungkaman yang ditujukan untuk menghambat aspirasi korban dan publik menggunakan janji-janji rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban dan keluarganya.

Desain Keppres dinilai bukan cara yang diajarkan dalam disiplin hukum hak asasi manusia atau praktik internasional terkait keadilan transisi (transitional justice) atas pelanggaran HAM masa lalu.

Sebab, syarat utama penyelesaian non yudisial haruslah didahului dengan upaya pengungkapan kebenaran, verifikasi visibilitas penyelesaian secara hukum, dan dengan kerja yang tidak terburu-buru. Hal ini dipastikan tidak akan mungkin terjadi dan tidak mungkin bisa dilakukan oleh Tim PPHAM.

Kedua, Dengan pembentukan PPHAM, menunjukkan adanya ketidakpatuhan Presiden Jokowi pada mandat UU No. 6 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memerintahkan bahwa peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU tersebut diundangkan harus diselesaikan melalui pengadilan HAM permanen.

Tidak ada ruang bagi Komnas HAM maupun Jokowi untuk membelokkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM setelah tahun 2000, kecuali diselesaikan melalui pendekatan yudisial. Lagi pula penyelesaian kasus HAM berat melalui proses peradilan adalah amanat UU karenanya perubahan atau diskresi penyelesaian secara non yudisial tidak bisa ditetapkan dengan bentuk Keppres semata.

Ketiga, ada nuansa kedustaan dalam proses penerbitan Kepres No. 17/2022 sebab Presiden Jokowi awalnya mengatakan bahwa Keppres tersebut telah ditandatangani pada 16 Agustus 2022 dan diumumkan saat Pidato Kenegaraan. Tetapi faktanya, Keppres tersebut baru ditandatangani 26 Agustus 2022.

Hal ini berarti ada ketidakjujuran teknis yang menggambarkan bahwa kehendak pemutihan pelaku pelanggaran HAM ini bukan sepenuhnya datang dari diri Presiden Jokowi, melainkan orang-orang di sekelilingnya yang diduga terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM masa lalu.

Ke empat, sejumlah anggota Tim PPHAM dinilai sebagai orang orang yang bermasalah yang sangat erat hubungannya dengan peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia. Bahkan beberapa anggota diduga terlibat dalam pelanggaran hak azasi manusia.

Diantaranya ada tokoh yang jelas masuk dalam list PBB sebagai pejabat tinggi TNI yang sangat kuat diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat di Timor Timur ketika masih menjadi bagian dari Indonesia.

Ada juga anggota Tim PPHAM yang bernama Asad Said Ali (pernah menjabat sebagai wakil Kepala BIN) yang juga diduga pelanggar HAM karena namanya sempat muncul dalam Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Aktivis HAM Munir Said Thalib sebagai orang yang diduga kuat terlibat dalam pembunuhan Munir.

Dengan komposisi Tim yan bermasalah ini maka langkah langkah Tim PPHAM dinilai tidak akan memperoleh legitimasi publik dan pengakuan internasional.

Kelima, Pendekatan non-yudisial yang didorong oleh Presiden Jokowi melalui pembentukan Tim PPHAM dinilai akan menutup ruang bagi korban dan keluarganya untuk memperoleh kebenaran dan keadilan atas peristiwa pelanggaran hak azasi manusia.

Pendekatan non-yudisial ini hanya akan melanggengkan imunitas bagi pelakunya sehingga penyelesaian melalui pendekatan non-yudisial yang diatur di dalam Keppres tersebut menjadi jalan pintas penyelesaian kasus HAM berat yang selama ini menjadi beban penguasa.

Langkah ini diambil penguasa karena lemahnya komitmen dan ketidakberanian politik Presiden dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan banyak petinggi tentara.

Padahal penyelesaian pelanggaran HAM berat seperti kasus Talangsari, Semanggi I dan II, Trisakti atau Wasior Papua dan lain lainnya masih dimungkinkan karena diduga pelakunya masih ada, artinya masih bisa diminta pertanggungjawabannya.

Ke enam,  penerbitan Keppres No. 17/20022 dinilai lebih didasarkan pada pertimbangan dan kepentingan yang sifatnya politik, bukan sebagai bentuk kehendak politik dari Presiden untuk menjalankan kewajiban konstitusional dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan bagi korban dan keluarganya.

Hal ini sejatinya bukanlah hal yang baru dari Presiden, mengingat selama ini selalu ada ketidakselarasan antara pernyataan dan perbuatan dalam menyikapi persoalan HAM, termasuk dalam menyikapi isu penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang selalu tidak jelas ujungnya.

Ke Tujuh, Dalam ketentuan pasal 9 dan 10 Keppres No. 17/20022 dinyatakan bahwa tugas dari tim PPHAM itu adalah melakukan pengungkapan dan analisis terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dalam pengungkapan dan analisisnya itu, Tim diberikan rambu-rambu atau batasan yaitu semata-mata tertuju kepada:  latar belakang, sebab akibat, faktor pemicunya, dan identifikasi korban dan dampak yang ditimbulkannya.

Padahal dalam suatu peristiwa kejahatan, khususnya yang menyangkut tindak pidana pembunuhan, yang harus diungkap adalah siapa pelakunya. Sehingga sudah semestinya berbagai investigasi dan analisis harus dilakukan guna mengungkap siapa pelaku dari tindak kejahatan pembunuhan tersebut.

Bukan sebaliknya, yang dianalisis atau diungkap hanya korbannya saja.
Oleh karena itu, jika kinerja atau aturan main Tim PPHAM itu hanya terbelenggu pada rambu-rambu yang ditentukan oleh pasal 9 dan 10 Keppres No. 17/2022, dikuatirkan  hasilnya kasus Sengkon dan Karta pada masa silam akan berulang kembali ke depannya.

Mengingat hasil kerja tim sama sekali tidak menganalisis atau mengungkap siapa pelaku atau aktor intelektual pelanggaran HAM berat masa lalu.

Begitulah rangkuman kritik yang disampaikan oleh beberapa Lembaga terkait dengan terbitnya Keppres No. 17/2022 sehingga kebijakan tersebut dinilai penuh kontroversi karena dianggap menyalahi ketentuan yang ada.

Tidak aneh kalau kemudian Ketua SETARA Institute Hendardi menilai Keppres itu sebagai cara Presiden Jokowi berpura-pura bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat dimasa lalu padahal mungkin ada hidden agenda dibaliknya.


Minta Dibatalkan

Karena dinilai sarat kontoversi, beberapa lembaga akhirnya meminta supaya Keppres No. 17 /2022 dibatalkan pelaksanaannya.

Lembaga seperti Imparsial telah mendesak Presiden Jokowi agar mencabut Keppres tersebut dan kemudian meminta agar proses yudisial dijalankan melalui Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dengan melakukan penyidikan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu.

Permintaan pembatalan juga disampaikan oleh Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang menilai Keppres tersebut hanya memperlihatkan watak pemerintah yang ingin mencari jalan pintas menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu.

Mereka menilai tim Penyelesaian Pelanggaran HAM berat yang ditunjuk Jokowi lewat Keppresnya adalah cara pemerintah melayani para pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme yudisial.

Sementara itu, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) juga meminta supaya Keppres No. 17/2022 dibatalkan karena hanya menjadi sarana cuci dosa Pelaku Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Keppres dinilai bermasalah secara konseptual karena melanggar hak korban atas kebenaran dan keadilan dan membuktikan bahwa Negara melakukan pembiaran (by omission) terhadap pelaku Pelanggaran HAM Berat.

Sehubungan dengan ramainya permintaan untuk pembatalan Keppres tersebut, pertanyaannya adalah mungkinkah Keppres yang telah di sahkan berlakunya itu dibatalkan kembali atas tuntutan dan desakan masyarfakat yang menuntutnya?

Secara yuridis formal, membatalkan  Keppres bukan sesuatu yang dianggap tabu, setidaknya hal ini pernah terjadi ketika akhirnya Presiden membatalkan Perpres No. 39/2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Untuk Pembelian Kendaraan Bagi Pejabat Negara.

Setelah dikritik habis-habisan akhirnya Presiden Jokowi membatalkan Perpres tersebut.

Perpres mengubah pasal 3 ayat 1 dari Perpres No. 68/210, yang menyebutkan fasilitas uang muka diberikan kepada pejabat negara untuk pembelian kendaraan sebesar Rp.116.650.000,- dinaikan menjadi Rp. 210.890.000,- dalam Perpres No. 39/2015.

Kenaikan uang muka itu mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Alasan penolakan adalah ditengah masyarakat sedang menghadapi kesulitan ekonomi, menaikkan anggaran fasilitas pejabat negara adalah sangat tidak elok.

Menurut Menteri Sekretariat Negara Pratikno, pembatalan Perpres tersebut untuk memenuhi keadilan masyarakat yang tengah dilanda kesulitan.

Patut diberi apresiasi kepada Presiden Jokowi yang tanggap pada penolakan publik atas peraturan yang dirasa kurang adil, dan untuk meredam kegaduhan yang timbul.

Dalam kasus ini, yang seharus dibenahi adalah kinerja orang-orang yang berkaitan dengan penerbitan Perpres dan keputusan Presiden lainnya.

Merekalah yang seharusnya meneliti dengan cermat dan mempelajari  dampak  dan azas kemanfaatan  peraturan yang akan ditandatangani Presiden,  karena jelas Presiden tidak akan mungkin membaca puluhan bahkan ratusan surat yang akan ditandatangani setiap hari berkaitan dengan pengelolaan negara yang menyangkut hajat hidup hampir  270 juta rakyat  Indonesia.

Begitu juga dengan Keppres No. 2/2022 tentang Penetapan Tanggal 1 Maret Sebagai Hari Penegak Kedaulatan Negara. Keppres ini juga mendapat kritik habis-habisan, menimbulkan kegaduhan karena tidak menyebut nama Letnan Kolonel Soeharto yang pada tanggal 1 Maret 1949 menjadi Komandan dalam serangan tersebut.

Kontroversi tidak menyebut nama Letnan Kolenel Soeharto dalam Keppres itu, menjadi pembahasan diberbagai media baik cetak, televisi, dan sosial media. Untuk meredam kegaduhan di masyarakat beberapa tokoh seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah meminta supaya Keppres tersebut direvisi  atau dipertimbangkan untuk dibatalkan seperti Presiden Jokowi membatalkan Keppres No. 39/2015,  agar negeri ini tidak dipenuhi atmosfir kegaduhan terus menerus karena adanya yang kontroversial disana.

Tetapi rupanya harapan itu tidak bisa diwujudkan dan akhirnya seiring dengan berjalannya waktu, kegaduhan itu hilang dengan sendirinya.

Apakah hal ini juga bakal terjadi pada Keppres No.17/2022 dimana tuntutan untuk pencabutannya akan hilang dengan sendirinya?


Penyelesaian Semu?

Terbitnya Keppres No.17/2022 mengandung kontroversi dan sebagian memandangnya dengan nada curiga. Adanya prasangka yang positif dan negative kiranya wajar wajar saja. Yang memandang positif, menilai terbitnya Kepres itu merupakan upaya negara untuk menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu yang terus terkatung katung penyelesaiannya.

Sementara yang kontra berpikiran bahwa penyelesaian kasus HAM berat masa lalu dengan menerbitkan Keppres No. 17/2022 hanya merupakan langkah pura pura belaka agar seolah olah pemerintah mempunyai keseriusan untuk menyelesaikan permasalahan HAM berat yang tidak mampu diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya.

Hal ini sesuai denga apa yang dinyatakan oleh Menko Polhukam Mahfud MD yang mengatakan pembentukan PPHAM adalah wujud tanggung jawab moral dan politik kebangsaan guna mengakhiri luka bangsa demi terciptanya kerukunan dalam kehidupan bernegara.
Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud MD juga menjelaskan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat lewat pengadilan ialah memberi hukuman kepada pelakunya.

Adapun penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat nonyudisial memberikan perhatian kepada korbannya. “Oleh sebab itu, jangan berfikir dengan adanya penyelesaian nonyudisial ini lalu yang yudisial dianggap perlu tidak diadili pelakunya. Proses sesuai dengan hukum tetap berjalan,” begitu katanya.

Kalau memang demikian duduk persoalannya, sebenarnya tidak ada masalah dengan Keppres No. 17/2022 yang ingin menyelesaian permasalahan HAM berat masa lalu melalui jalur non yudisial karena kebijakan ini tidak menutup jalan untuk tetap dilakukannya proses penyelesian HAM berat masa lalu melalui jalur yudisial sebagaimana amanat UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia.

Namun jangan kemudian penyelesaian secara yudisial itu dilaksanakan sedemikian rupa untuk hanya sekadar menggugurkan kewajiban belaka.

Contoh penyelesian kasus Pelanggaran HAM 
di Paniai Papua, yang mulai tanggal 21 September Tahun 2022 lalu dimulai persidangannya.

Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan itu terkesan berjalan tidak seperti harapan publik pada umumnya. Sebab bagaimana mungkin, peristiwa pelanggaran HAM berat yang syarat utamanya adalah sistematis, meluas dan massif, tetapi hanya mampu menjerat 1 orang purnawirawan, yang juga hanya sebagai seorang penghubung di Kodim Paniai 1705 ?.

Kalau penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pembentukan Tim PPHAM hanya sekadar untuk seolah olah pemerintah telah berupaya menyelesaikan kasus HAM berat yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah sebelumnya, maka kebijakan seperti ini berarti hanya penyelesaian yang sifatnya semu belaka.

Demikian pula penyelesaian kasus HAM melalui jalur yudisial yang dilaksanakan “ala kadarnya” seperti penyelesaian kasus HAM Paniai yang saat ini sedang berlangsung sidangnya, maka akan memunculkan kesan bahwa semua dilakukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban belaka atau bahkan sekadar ingin menaikkan citra Pemerintah yang sedang berkuasa ditengah jebloknya kinerja penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Bagaimana menurut Anda?



www.harianrakyat.com
Redaksi | Disclaimer | Dewan Pers