Dodi

Jakarta, HARIANRAKYAT - Nilai saja tidak cukup, masyarakat kekinian harus diatur dengan norma. Nilai sebagai imperatif kategoris yang melekat pada diri manusia sebagai insan berhati nurani, dalam perkembangan sosialnya perlu fasilitas lainnya yaitu norma, manusia universal perlu mengatur tiap-tiap manusia individu agar relasi antar manusia dan lainnya menjadi tertib.

"Tertib sosial ini diperlukan bagi manusia berakal. Nilai saja ternyata tidak cukup, namun diperlukan norma," demikian yang disampaikan Hasanuddin, Koordinator Siaga 98, Jumat (10/11).

Relasi manusia tak cukup diserahkan pada dirinya dalam fasilitas hati nurani, namun perlu diatur ketat.

"Agar manusia yang pada dasarnya baik, tak berubah menjadi "homo homini lupus" atau manusia pada dasarnya baik menjadi manusia pada dasarnya jahat, sebab ada unsur "animal" di dalam dirinya," ujarnya.

Dari nilai, masyarakat kekinian diarahkan pada kesepakatan bersama "mematuhi" norma sebagai pedoman berperilaku.

Dasar ini perlu dijelaskan, oleh sebab ada keadaan baru yang dipahami secara berbeda, bahwa; Tindakan manusia individual yang oleh manusia universal  perlu diletakkan dalam kerangka norma sebagai acuan sosial yang perlu dipedomani, kini ditarik kembali pada perdebatan nilai.

"Keadaan ini sesungguhnya karena ada ketidakpastian dalam pelaksanaan norma, bukan pada normanya sendiri. Ketidakpastian pelaksanaan norma membuat manusia individual mengadu pada ibu kandungnya norma yaitu nilai," tutur dia. 

Nilai sebagai hal etik, filsafatnya norma. Dari norma usia dalam aturan dipertanyakan konstitusionalitasnya sebagai sesuatu yang maksima dalam kasta norma.

"Yang oleh masyarakat kekinian dibentuklah Mahkamah Konstitusi, yang juga dalam putusannya sudah dinyatakan Final dan Binding. Namun tidak semua manusia individu dapat menerimanya dengan alasan-alasan manusia, sehingga perlu kembali diuji putusan final dan bindingnya pada ibu kandungnya norma etik!"  katanya.

Imbuh Hasan, sidang Konstitusi lalu berubah menjadi Sidang Etik. Hakim Etik dibentuk untuk mengadili Hakim Konstitusi. Lalu drama baru dimulai. Sayangnya drama itu tanpa sutradara, hingga jalan ceritanya tak utuh, dan sepotong-sepotong.

"Ini sepertinya tawuran eksidental mengatasnamakan konstitusi dan etik. Akhirnya, dari drama menjadi dramatik*, tawurannya manusia berakal," pungkasnya.



www.harianrakyat.com
Redaksi | Disclaimer | Dewan Pers