Pepohonan yang meranggas serta sungai-sungai kering menemani perjalanan kami dari Kupang menuju Soe, Nusa Tenggara Timur, Rabu, 8 Oktober lalu. Jarak 110 kilometer kami tempuh selama dua jam lebih, di siang yang kering kerontang itu. Debu-debu beterbangan dihempas ban-ban mobil kami, yang berlari dengan kecepatan tinggi, di sepanjang jalan besar yang lengang.

Menjelang Kota Soe, kami berjumpa dengan rombongan demi rombongan anak-anak sekolah berseragam putih biru dan putih abu-abu.  Anak-anak SMP dan SMA itu  baru pulang sekolah. Mereka sebagian besar berjalan, dengan kaki-kaki kurus yang menopang tubuh-tubuh kerempeng mereka. Mereka adalah anak-anak sekolah penerima MBG.

Saya tercenung selama beberapa saat, “Jika anak-anak sekolah itu sampai keracunan makanan, bagaimana saya bisa berdiam diri?” Belum lagi jika hal itu terjadi pada bocah-bocah TK dan SD yang matanya berbinar-binar saat menerima pembagian ompreng MBG, kemudian makan dengan lahap, dan menyantap habis semua hidangan. Mereka bukan anak-anak picky eaters alias suka pilih-pilih makanan, seperti anak-anak dan remaja di kota-kota besar di Pulau Jawa.

Di kota kecil yang panas itu, kami berkunjung ke salah satu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Dapur MBG itu tidak boleh beroperasi sementara, karena beberapa hari sebelumnya terjadi insiden keamanan pangan di sana. Di dapur MBG itu saya melihat wajah-wajah yang lesu. Tiba-tiba dada saya sesak. I feel guilty.

Saya berbicara cukup lama dengan mereka, sebelum kemudian meninjau dapur mereka dengan teliti. "Kalian hebat. Masih muda, tapi kalian telah berbuat banyak untuk negeri ini. Ketika kami sedang tidur lelap saat dini hari, kalian justru bekerja menyiapkan sarapan untuk adik-adik kalian, yang sedang gigih belajar...," kata saya dengan tulus kepada anak-anak muda itu. Saya katakan juga, bahwa penutupan SPPG yang mereka kelola ini adalah ujian bagi mereka, "Dalam hidup, kalian akan selalu mendapat ujian. Ini salah satunya..."

Mencari penyebab keracunan adalah perkara yang tidak mudah. Kami harus merangkai pernyataan dari tiga pihak: mulai dari dapur penyedia hidangan MBG, Puskesmas dan RSUD yang tiba-tiba dihujani pasien berlimpah dalam waktu singkat, serta Dinas Kesehatan yang menjadi pintu informasi Kementerian Kesehatan. Setelah itu kami harus mengecek silang dengan data yang ada, sebelum kemudian menyimpulkan temuan.

Tapi percayalah, bahwa kami senantiasa melakukan investigasi ini dengan hati. Kami tidak akan pernah mencari kambing hitam dari apa yang terjadi. Kami pun tidak semena-mena tunjuk hidung, pointing finger to others.

Ketika berpamitan pulang, saya tepuk pundak Jacky. Dia anak muda yang menjadi Kepala SPPG itu. "Hai Jacky, jangan lesu. Ayo semangat. Kami doakan dapur kalian segera beroperasi Kembali…"
"Siap Ibu… Semangat...!," ujarnya sambil mencoba tersenyum.

Dalam perjalanan pulang, saya bertanya-tanya dalam hati, "Dari pada sibuk mencela dan nyinyir tiap hari di media sosial, bukankah lebih baik para aktivis medsos itu ikut berbuat sesuatu untuk negeri ini. Bukankah mereka bisa membantu meningkatkan asupan gizi dan makanan anak-anak sekolah, balita, ibu hamil dan menyusui, dengan terlibat secara aktif dalam program MBG?"


BACA JUGA :

www.harianrakyat.com
Redaksi | Disclaimer | Dewan Pers