Gunawan Arianto

Jakarta, HARIANRAKYAT -  Sekolah Prancis Jakarta (Lycée Français Louis-Charles Damais Jakarta) tengah menjadi sorotan. Soalnya, ada jejak dugaan pelanggaran dalam implementasi pendidikan dan pembelajaran di lingkungan sekolah. 

Dugaan pelanggaran atau permasalahan tersebut mencakup di antaranya aspek kurikulum atau mata pelajaran Pancasila, agama, sejarah, dan bahasa Indonesia bagi para siswa berkewarganeraan Indonesia dari orang tua berkewarganeraan Indonesia, serta bahasa Indonesia untuk siswa kebangsaan atau berkewarganeraan asing. 

"Empat mata pelajaran itu belum diajarkan kepada para siswa baik itu siswa-siswa baik berkebangsaan Indonesia maupun ekspatriat (berkewarganeraan asing). Bahkan, tidak ada guru pengajarnya. Padahal, mata pelajaran itu kan mata pelajaran wajib dan harus ada guru orang Indonesia yang mengajarkan mata pelajaran itu," ujar Mancy, sumber internal di Sekolah Prancis Jakarta, Selasa, (19/9/2023).

Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia, mengamanatkan di antaranya bahwa sekolah internasional yang beroperasi di Tanah Air, yang menerima siswa Indonesia, haruslah memiliki status satuan pendidikan kerja sama (SPK) yang bekerja sama dengan lembaga pendidikan atau sekolah Indonesia. 

Setelah berstatus SPK, maka sekolah internasional itu diwajibkan memiliki dan mengajarkan tiga mata pelajaran yaitu pendidikan agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan bahasa Indonesia.

Sampai saat ini tutur Mancy, Sekolah Prancis Jakarta belum dan bahkan tidak memiliki status SPK serta belum menjalin kerja sama dengan lembaga pendidikan atau sekolah Indonesia. Padahal, sekolah Prancis ini sudah menerima siswa Indonesia.

"Berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia, seharusnya sekolah internasional termasuk dalam konteks ini Sekolah Prancis Jakarta itu harus punya status SPK dan bekerja sama dengan sekolah Indonesia. Tapi sampai sekarang, Sekolah Prancis Jakarta itu diduga belum punya status dan kerja sama tersebut. Nah, ini yang diduga sengaja disembunyikan pihak sekolah," tutur Mancy.

"Sekolah Prancis ini belum resmi menjadi SPK, padahal sekolah ini sudah menerima siswa sejak tahun ajaran 2022-2023, kemudian, pelajaran bahasa Indonesia memang ada, tapi hanya satu jam per minggu. Itupun bukan diajarkan oleh guru professional Indonesia dan bukan mata pelajaran wajib bagi siswa-siswi tetapi mata pelajaran pilihan," tambahnya.

Menyadari belum adanya guru untuk mata pelajaran Pancasila (PPKn), agama, dan bahasa Indonesia profesional, kemudian pada sekitar Mei dan Juni 2023 pihak Sekolah Prancis Jakarta baru mulai melakukan rekrutmen calon guru tiga mata pelajaran tersebut dan menyampaikan informasi pemberitahuannya ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia.

Mancy menceritakan, belum adanya mata pelajaran agama di Sekolah Prancis Jakarta pun paling tidak memiliki keterhubungan dengan kebebasan berekspresi dan beragama siswa-siswi. Dalam hal ini, Mancy bilang, siswi (anak perempuan) yang beragama Islam "dilarang" oleh pihak Sekolah Prancis Jakarta untuk menggunakan jilbab di lingkungan sekolah selama waktu pembelajaran, karena aturan pemerintah Prancis memang melarangnya. 

Bukan hanya itu, bagi siswa maupun siswi yang beragama Islam sangat kesulitan jika ingin menunaikan kewajibannya menjalankan ibadah shalat Zuhur maupun Ashar. Dua alasan utama mengapa kewajiban ini tak bisa ditunaikan, yakni tak ada mushola khusus guru dan siswa serta jam masuk sekolah yang sangat padat. Memang kata dia, ada mushola kecil yang terletak di ruang bawah tanah (rubanah) atau basement tetapi mushalla itu untuk staf dan cleaning service.

"Kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan perlindungan hak asasi warga negara, utamanya siswa-siswi yang merupakan warga negara Indonesia ataupun yang beragama Islam itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Seharusnya pihak Sekolah Prancis Jakarta tidak perlu melarang siswi menggunakan jilbab di sekolah, pihak sekolah juga seharusnya menyediakan mushalla khusus siswa, dan memberikan izin bagi siswa-siswi yang mau shalat Zuhur maupun Ashar," ungkap Mancy. 

"Sekolah Prancis Jakarta berada di Indonesia seharusnya taat dan patuh dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di Indonesia."

Selanjutnya, keberadaan tenaga pengajar atau guru dan tenaga/staf kependidikan berkewarganeraan asing di Sekolah Prancis Jakarta pun menyibak pelanggaran lain, yakni berkaitan dengan ketidakpatuhan penggunaan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) atau izin kerja dan penggunaan izin paspor diplomatik atau paspor dinas untuk mengajar.

Untuk ketidakpatuhan penggunaan IMTA, terdapat guru yang memiliki IMTA tetapi dokumennya atau informasinya dipalsukan maupun bahkan tidak menyerahkan ijazahnya, warga negara asing (WNA)/tenaga kerja asing yang memiliki IMTA tetapi pekerjaannya berbeda dengan izinnya, misalnya izinnya mengajar, tapi bekerja sebagai staf administrasi dan lain-lain, beberapa WNA/TKA yang bekerja di sekolah berdasarkan jam tetapi tanpa IMTA dan tanpa memberitahukan kepada Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), WNA/TKA yang memiliki IMTA sebagai guru tetapi tidak mengajar, hingga WNA/TKA mengajar atau menjadi guru tetapi tidak memiliki ijazah yang sesuai dengan level siswa yang mereka ajar misalnya mereka mengajar di SD, SMP, dan SMA tetapi tidak punya ijazah untuk mengajar untuk jenjang tersebut.

"Setidaknya ada empat WNA atau tenaga asing yang diduga bekerja part-time dan dibayar oleh sekolah tanpa IMTA atau izin kerja. Salah satunya diduga istri Kepala Sekolah Prancis Jakarta yang punya paspor dinas, padahal yang bersangkutan bekerja berdasarkan jam. Kemudian, sekira dua tenaga asing yang memiliki IMTA sebagai guru tapi diduga mereka tidak mengajar. Berikutnya, diduga ada dua tenaga asing yang memiliki IMTA berdasarkan dokumen atau informasi palsu, misalnya ijazahnya palsu," tegas Mancy.

Selain itu, satu pemegang paspor diplomatik sebagai pelatih guru tetapi malah mengajar siswa sebagai bagian dari pekerjaannya di sekolah, satu pasangan dari pemegang paspor diplomatik tetapi berkerja di sekolah full time (sepenuh waktu) dan digaji oleh sekolah, hingga pasangan dengan paspor diplomatik kemudian bekerja di sekolah berdasarkan kerja harian dan digaji oleh sekolah tetapi tanpa IMTA/izin kerja.

Hakikatnya, penggunaan TKA dan IMTA tersebut sangat beririsan dengan kewenangan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Republik Indonesia. Apalagi dalam konteks ini, terdapat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang seharusnya dipatuhi oleh pihak Sekolah Prancis Jakarta.

"Yang seperti itu kan melanggar karena paspor diplomatik atau paspor dinas seharusnya hanya bagi tenaga kerja asing dengan tugas tertentu dari negaranya. Penggunaan paspor diplomatik atau paspor dinas untuk mengajar atau bekerja di Sekolah Prancis Jakarta kan diduga juga untuk mengakali izin tinggal baik izin tinggal diplomatik dan izin tinggal dinas maupun Izin Tinggal Terbatas (ITAS) dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) bagi ekspatriat," demikian Mancy.

Perkara penyalahgunaan paspor diplomatik atau paspor dinas dan upaya mengelabui ITAS dan KITAS bersinggungan erat dengan kewenangan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) R.I. maupun Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) R.I. lebih khusus Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi. Ihwal Kemenlu karena terkait dengan hubungan diplomatik dua negara, Prancis dan Indonesia serta izin tinggal diplomatik dan izin tinggal dinas.

"Jadi, dugaan pelanggaran tiga peraturan tersebut sudah sangat jelas," Mancy berujar.

Lingkup pelanggaran terhadap penggunaan TKA dan IMTA serta penggunaan paspor diplomatik atau paspor dinas berkorelasi pula dengan izin tinggal bagi TKA.

Mancy memaparkan, Sekolah Prancis Jakarta diduga mengangkat guru expatriates dengan paspor diplomatik atau paspor dinas bersama dengan pasangannya. Salah satu tamsil dari permasalahan ini adalah Kepala Sekolah di Sekolah Prancis Jakarta yang memegang paspor dinas dan ditugaskan sebagai kepala sekolah tetapi istrinya diduga mengajar di Sekolah Prancis Jakarta tanpa IMTA. 

Di bagian lain, sumber kedua dari internal Sekolah Prancis Jakarta, sebut saja Oscar, bukan nama sebenarnya, tidak menampik berbagai hal yang telah disampaikan oleh Mancy dan beberapa dugaan pelanggaran yang diduga dilakukan pihak Sekolah Prancis Jakarta.

Oscar mengisahkan, dahulu kala Sekolah Prancis Jakarta adalah sekolah diplomatik yang hanya untuk orang-orang Prancis yang ada di Indonesia. Kalau tak salah ingat, kata Oscar, sekolah ini pertama kali berdiri sekitar tahun 1967. 

Tetapi beberapa tahun lalu atau sekitar tahun 2002, Sekolah Prancis Jakarta menjadi sekolah internasional yang terbuka untuk semua warga negara, baik anak-anak warga negara asing yang orang tuanya berada atau bekerja di Indonesia maupun warga Indonesia. 

Tak lupa ia menyebutkan, "Semua guru di Sekolah Prancis Jakarta ini adalah orang Prancis atau ekspatriat. Belum atau tidak ada guru yang orang Indonesia. Hanya, memang ada asisten-asistennya yang orang Indonesia, khususnya guru bahasa Indonesia yang profesional." 

Tahun 2015, karena sekolah tersebut tidak memilih menjadi sekolah dengan sistem SPK, maka orang Indonesia (dengan satu kewarganegaraan) tidak boleh mendaftar apa lagi bila sekolah tersebut menyebutkan bahwa sekolah ini sekolah diplomatik. Jika betul-betul sekolah diplomatik, maka hanya orang asing saja yang boleh masuk atau diterima di sekolah tersebut, dengan sedikit pengancualian terhadap anak diplomat Indonesia.

Sepengetahuan Oscar, Sekolah Prancis Jakarta menjalankan kurikulum Prancis dan disupervisi oleh pemerintah Prancis melalui Kementerian Pendidikan Nasional Prancis dan Kedutaan Besar Perancis di Jakarta serta Agency for the Teaching of French Abroad (AEFE) atau Badan Pendidikan Prancis di Luar Negeri. 

Ia mengamini bahwa di Indonesia terdapat Kurikulum Merdeka yang menjadi kurikulum nasional yang diampu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) R.I. dan telah resmi diluncurkan oleh Mendikbudristek R.I. Nadiem Anwar Makarim pada Februari 2022, serta protipe-nya telah berjalan pada Tahun Ajaran 2021/2022. Meski berada di wilayah hukum Indonesia, faktanya mata pelajaran agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang wajib diterapkan di sekolah internasional belum ada dan dilaksanakan di Sekolah Prancis Jakarta.

"Belum ada mata pelajaran itu yang direncanakan atau dipersiapkan. Di Sekolah Prancis Jakarta ini baru ada kelas bahasa Indonesia untuk satu jam dalam satu pekan bagi siswa-siswi yang biasanya bukan orang Indonesia dan diajarkan oleh asisten guru orang Indonesia yang profesional. Itu kan mereka belajar sedikit sekali. Selain itu, ada ekstrakurikuler berupa seni tradisional budaya Indonesia, seperti gamelan dan angklung, kemudian saat ekstrakurikuler ini tidak ada sejarah tentang Indonesia," tegas Oscar.

Hanya ada beberapa orang Indonesia atau berkewarganeraan Indonesia, Sekolah Prancis Jakarta yang dipekerjakan, seperti staf kependidikan seperti staf administrasi, tenaga kesehatan sekolah, asisten guru, hingga petugas cleaning service. 

Selain itu sebagian besar guru dan staf kependidikan yang berkewarganeraan asing diajarkan pula bahasa Indonesia sehingga  bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, tetapi lagi-lagi bukan kepada siswa.

"Makanya itu ada guru maupun staf yang ekspatriat di Sekolah Prancis Jakarta ini ada yang sudah fasih berbahasa Indonesia," katanya.

Oscar bertutur, jam sekolah berlangsung dari sekitar pukul 07.30 WIB—16.00 WIB, tergantung jenjang sekolah masing-masing misalnya untuk TK, SD, SMP, dan SMA. Lebih lanjut, ia tak membantah bahwa bagi siswa perempuan (siswi) tak boleh menggunakan jilbab di lingkungan Sekolah Prancis Jakarta, kecuali staf katering, karena bukan bagian dari sekolah! Selain itu, Oscar memastikan, tak ada mushola khusus untuk siswa-siswi yang beragama Islam yang ingin menunaikan ibadah shalat Zuhur maupun Ashar.

"Enggak ada mushola di Sekolah Prancis Jakarta ini," tandas Oscar.

Orang tua alumnus Sekolah Prancis Jakarta, Fadli, bukan nama sebenarnya menceritakan, pihak Sekolah Prancis Jakarta mengklaim didukung oleh pemerintah Indonesia. Padahal dukungan pemerintah Indonesia haruslah didasarkan pada kerja sama atau bermitra dengan sekolah atau lembaga pendidikan nasional dan memiliki status satuan pendidikan kerja sama (SPK). 

Sementara sepengetahun Fadli, kerja sama itu harus ada secara resmi dalam bentuk "hitam di atas putih" dan SPK tersebut belum dimiliki oleh Sekolah Prancis.

"Kerja sama atau bermitra dengan sekolah Indonesia maupun SPK itu harus ada barulah bisa disebut Sekolah Prancis Jakarta ini sebagai sekolah kerja sama internasional. Tetapi ini kan disembunyikan dan tidak diketahui publik," tutur Fadli pada pekan terakhir Juni 2023.

Ia memastikan, berdasarkan informasi yang ia peroleh memang ada sejumlah dugaan pelanggaran lain yang diduga dilakukan pihak Sekolah Prancis Jakarta. Di antaranya tak ada tiga mata pelajaran wajib yaitu pendidikan agama, Pancasila (PPKn), dan bahasa Indonesia yang diajarkan kepada para siswa; tak ada guru resmi sebagai pengajar mata pelajaran agama, Pancasila (PPKn), dan bahasa Indonesia; penyalahgunaan paspor diplomatik atau paspor dinas untuk mengajar; penyalahgunaan IMTA dan pemalsuan dokumen untuk mendapatkan IMTA; upaya mengakali izin tinggal; hingga larangan bagi siswi dan staf muslim menggunakan jilbab, tidak ada mushola khusus bagi para siswa, dan yang ada hanyalah mushalla kecil di basement khusus  untuk staf sekolah.

"Sekalipun ada pilihan membayar dengan rupiah, banyak orang asing dan pimpinan sekolah tersebut yang membayar dengan Euro. Orang Indonesia boleh membayar jasa dengan uang rupiah. Namun, tuition fee siswa lebih sering dibayarkan dengan uang Euro ke dalam rekening di luar Indonesia tanpa harus membayar pajak. Jadi, kantor pajak di Indonesia tidak mengetahuinya. Padahal kan menggunakan uang rupiah itu untuk implementasi dari program cinta rupiah yang digelorakan Bank Indonesia dan amanah Pasal 1 angka 1 dan angka 2, Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang," tandas Fadli.

Di wilayah berbeda, cerita datang dari Badar, bukan nama sebenarnya selaku orang tua calon siswa yang sempat berencana memasukkan anaknya ke Sekolah Prancis Jakarta. Ia mengaku pernah mendengar informasi seperti disampaikan oleh Mancy, Oscar, dan Fadli. Bahkan, informasi tersebut Badar peroleh langsung dari staf Sekolah Prancis Jakarta.

"Saya sudah dengar juga seperti yang dikatakan Bu Mancy, Pak Oscar, dan Pak Fadli," kata Badar.

Meski demikian, Badar tetap bertandang ke lokasi Sekolah Prancis Jakarta, di bilangan Jalan Cipete Dalam, Jakarta Selatan. Ia ingin melihat langsung bagian dalam dan fasilitas sekolah. Bagi Badar, berbagai fasilitas di Sekolah Prancis Jakarta sudah sangat luar biasa, lengkap, dan mampu menunjang proses pembelajaran maupun ekstrakurikuler siswa-siswi baik untuk jenjang PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA. 

Hanya ia menyayangkan mengapa di Sekolah Prancis Jakarta tak ada mata pelajaran agama, Pancasila (PPKn), dan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran wajib bagi seluruh siswa orang Indonesia. Tahun ini, sekolah ini juga membuka daycare untuk umur dua tahun.

"Kelas bahasa Indonesia memang ada, tapi hanya jadi mata pelajaran pilihan dan itupun hanya satu jam dalam satu minggu yang gurunya tidak direkrut secara terbuka untuk mendapatkan guru profesional. Itu kan enggak fair. Sekolah Prancis Jakarta ada di Indonesia, harusnya kan bisa lebih dari satu jam pelajaran bahasa Indonesia, kemudian mata pelajaran bahasa Indonesia, agama, dan Pancasila atau PPKn itu jadi mata pelajaran wajib bagi semua siswa- siswi dong. Tapi, apa mau dikata, diduga di Sekolah Prancis Jakarta hanya sedikit saja guru orang  Indonesia, sebagian besar guru malah orang asing," tegasnya.

Badar mengaku sempat melihat dan mendengar langsung para siswa dan guru berbincang dengan menggunakan bahasa Prancis maupun bahasa Inggris.

"Saya enggak sempat dengar ada siswa yang berbicara dengan bahasa Indonesia. Yang saya dengar mereka hanya berbicara dengan bahasa Prancis atau bahasa Inggris. Yah, memang sih ada guru dan staf Sekolah Prancis Jakarta yang bisa berbahasa Indonesia dengan fasih," tutur Badar.

Badar mengungkapkan, sebenarnya ia tak setuju jika siswi yang beragama Islam khususnya orang Indonesia dilarang menggunakan jilbab oleh pihak Sekolah Prancis Jakarta. Badar juga menyaksikan ada tamu dan orangtua siswa yang memakai jilbab, tetapi  ternyata memang tidak diatur. 

Selain itu, ia pun sempat menanyakan ke staf Sekolah Prancis Jakarta bahwa apakah ada atau tidak mushalla khusus para siswa di dalam sekolah. Jawaban tegas yang didapati Badar.

"Staf sekolah langsung bilang bahwa enggak ada mushola. Waduh. Bagaimana kalau siswa- siswi yang muslim mau shalat Zuhur dan Ashar?," katanya.

"Yah, akibat larangan siswi berjilbab di sekolah dan enggak ada mushalla itu ditambah juga dengan informasi berbagai dugaan pelanggaran yang sudah saya dapat sebelumnya seperti yang dibilang sama Bu Mancy, Pak Oscar, dan Pak Fadli akhirnya saya enggak jadi mendaftarkan anak saya masuk di Sekolah Prancis Jakarta," Badar menandaskan.

Oleh karena itu, dengan melihat berbagai dugaan pelanggaran seperti termaktub di atas, maka pihak-pihak pemangku kepentingan terkait (stakeholders) yang berwenang di Tanah Air sudah selayaknya secepatnya turun tangan mengatasinya dan menindak pihak Sekolah Prancis Jakarta. 

Para pihak tersebut meliputi di antaranya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi. Para pemangku kepentingan ini tak boleh abai, agar dugaan pelanggaran di Sekolah Prancis Jakarta tak dipelihara dan terus berulang tahun.



www.harianrakyat.com
Redaksi | Disclaimer | Dewan Pers