Oleh: Djono W. Oesman

Kehamilan tak dikehendaki pada pacar, menimbulkan dua: Aborsi, atau si hamil hamil. Persis, yang dialami gadis AR (16) pelajar SMK PGRI Jember, Jatim, pembunuhan pacar, RAT (22). Karena AR hamil dua bulan minta dikawin.
------------

Kapolres Jember, AKBP Hery Purnomo dalam Konferensi pers di Mapolres Jember, Jumat, 30 Desember 2022 mengatakan, cara bunuh sangat sadis. Leher AR digorok clurit nyaris putus.

"Pelaku merancang pembunuhan, seolah-olah korban dibegal di tengah sawah."

TKP di kawasan sawah yang sepi, di Desa Jatisari, Kecamatan Kencong, Jember, Kamis, 29 Desember 2022.

RAT dan AR bertetangga. Tinggal di Desa Mayangan, Kecamatan Gumukmas, Jembe. Mereka sudah pacaran setahun. Mereka berhubungan seks. AR terlambat datang bulan. Setelah dicek, dia hamil dua bulan.

AR lapor ke RAT, sambil tanya: "Gimana nih?"

RAT mbulet, jawab asal-asalan. Ditanya lagi, jawab lagi, tapi tidak menanggung. Jelas, motif RAT cuma hubungan seks. Padahal, di usia mereka, untuk ukuran warga desa, cocok menikah.

Kamis, 29 Desember 2022 AR minta tanggung jawab lagi. Kali ini RAT menanggapi baik. Mengajak pacarnya jalan-jalan naik motor. Lewat sawah. Tiba di TKP, motor dilarang, RAT turun.

Di saat AR bingung bertanya-tanya, RAT mengeluarkan clurit dari bagasi motor. Digorok. AR tewas seketika.

Polisi tidak menyebut RAT mabuk. Tidak. Juga bukan akibat narkoba. Normal. Dari kronologi itu, jelas modusnya bukan mabuk. Sudah ada tenggang waktu. Antara RAT dalam posisi tertekan, karena tidak berniat menikahi lalu didesak terus, dengan pembunuhan. Bukan spontan.

RAT ditangkap polisi Jumat (30/12). Ia dikenakan Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana. Ancaman hukuman mati.

Bukan hal baru. kejahatan lama. Sangat sering terjadi. Tapi mengapa terus berulang? Bukankah pacaran berarti mereka saling suka? Saling sayang? Kenapa bisa begitu sadis?

Modelnya begini banyak di negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS). Tempatnya seks bebas sejak 1950-an. Hidup bersama tanpa nikah pun sah. Asal sudah dewasa.

Remaja puteri AS yang belum siap nikah atau hidup bersama, biasa bawa kondom. Yang bisa diperhatikan, ke mana pun mereka pergi, siap seks. Tapi tujuannya mengantisipasi kejadian kayak RAT dan AR itu.

Kendati demikian, model pembunuhan begitu banyak di AS. Pacaran, hamil, wanitanya bunuh pasangan.

Dikutip dari jurnal ilmiah AS, Journal of Adolescence, November 2018, lima pakar psikolog AS melakukan riset besar-besaran soal ini. Judulnya,
"Kapan remaja mau cerita tentang viktimisasi kekerasan dalam pacaran? Kekerasan Terhadap Perempuan?".

Periset tim: Beverly M. Black dan Arlene N. Weisz (Wayne State University, AS). Richard Tolman, Michelle R. Callahan, Daniel George Saunders (Universitas Michigan, AS).

Mereka meriset data mayat wanita korban pembunuhan. Data diambil dari The National Violent Death Reporting System (NVDRS). Mewakili 32 negara bagian di AS (di sana ada 50 negara bagian, ditambah Washington DC). Kurun waktu kematian wanita 2003 sampai 2016.

NVDRS mencatat lengkap data korban pembunuhan wanita. Pembunuh data. Termasuk kronologi dan motif pembunuhan.

Setiap mayat disertai 2 jenis data kualitatif: Laporan koroner medis dan catatan penegakan hukum polisi. Data medis menyangkut otopsi. Data polisi hasil wawancara polisi dengan pihak-pihak terkait kematian korban.

Sehingga tim periset tidak perlu meminta izin keluarga korban, untuk identitas jenazah tidak disebut. Periset cukup minta data ke NVDRS. Sudah lengkap.

Tidak semua mayat wanita korban pembunuhan dijadikan sampel periset. Dibatasi tiga jenis berikut ini:

1) Korban berusia antara 11 dan 24 tahun.

2) Hubungan antara korban dan pelaku diketahui.

3) Cara mati mengklasifikasikan NVDRS sebagai pembunuhan (berdasarkan klasifikasi internasional). Juga kode penyakit disertakan pihak medis.

Dari data itu, periset hanya memilih sampel wanita korban pembunuhan di usia remaja hingga dewasa muda.

Terkumpul ratusan sampel. pembunuhan wanita terbanyak itu dilakukan oleh pasangan dengan latar belakang cinta asmara. Tapi, hampir tidak ada yang motifnya menuntut tanggung jawab (minta dinikahi) seperti kasus di Jember. Sebab, di sana pria-wanita hidup bersama tidak harus nikah.

Motif kebanyakan selingkuh, bisa pihak pria atau wanita. Disusul soal uang, bisa sejenis pemorotan atau penipuan. Disusul lagi soal ngamuk akibat putus pacar (penyebab putus cinta beragam).

Diurai, masa remaja adalah masa emosionalitas tertinggi sepanjang hidup manusia. Sedangkan, pengalaman hidup masih rendah. Maka, ketika remaja menjalin asmara (heteroseksual) bisa meledak-ledak. Baik saat gembira maupun marah.

Ketika marah meledak, hubungan pasangan bisa berakhir jadi pembunuhan. Tim periset membedakan kejahatan kekerasan dalam romansa romantis jadi dua hal: Intimate Partner Violence (IPV) atau cinta mengakhiri kekerasan, dan Intimate Partner Homicide (IPH) romansa berakhir pembunuhan.

IPH terkait kehamilan, cukup banyak. Tapi beda bentuk dengan kasus Jember yang menuntut dinikahi. Dalam penelitian tersebut, penyebab pembunuhan karena hamil, ada dua:

1) Korban mengandung bayi pacar. Cewek tidak mau punya anak, karena masih sekolah. Maka, dia berusaha membunuh janin dengan cara memukul perutnya sendiri. Akhirnya cewek mati. Atau tidak sengaja bunuh diri.

2) Korban mengira dia hamil. Lapor ke pacar, si pacar kesal. Karena, jika cewek melahirkan di usia remaja, maka polisi akan mencari si cowok. Hubungan seks di bawah usia 18 tahun di sana ilegal.

Maka, cowok berusaha membunuh janin. Tidak mungkin aborsi di usia remaja. Tujuan membunuh janin, si cewek terbunuh. Bisa sengaja dibunuh atau tidak sengaja dibunuh.

Uniknya, mayoritas remaja AS tidak suka menceritakan masalah percintaan mereka kepada ortu. Kira-kira mirip dengan di Indonesia (belum ada penelitian tentang ini di Indonesia).

Para remaja bercinta, kebanyakan curhat ke teman jika terjadi masalah. Nasihat teman rata-rata salah, atau berdampak buruk. Bisa jadi karena si teman tidak berpengalaman, tapi sotoy. Atau sengaja menjerumuskan.

Seumpama, para remaja menceritakan masalah percintaan mereka ke ortu, maka hampir pasti potensi IPV bisa dicegah. Setidaknya, tidak sampai terjadi IPH. Sebab, ortu lebih berpengalaman soal ini, seberapapun tingkat pendidikannya.

Di kasus polisi Jember masih menyidik ​​berbagai hal. Termasuk, bagaimana peran ortu kedua belah pihak. Korban masih remaja, pelaku dewasa muda. Jadi masih perlu bimbingan ortu.

Bisa jadi, kemungkinan kecil korban cerita kepada ortu bahwa dia hamil. Soal ini di Indonesia masih tabu. Dan sangat menakutkan bagi remaja puteri untuk curhat begituan ke ortu.

Walaupun tabu, tapi mau. Inilah repotnya. Lebih tepatnya, bahayanya. Hal tabu dilanggar pasti bahaya.

Mestinya, sekolah memberikan dasar pendidikan seks sesuai usia murid. Kurikulum pendidikan kita masih kuno, sementara video porno sangat mudah diakses. Terjadi lag budaya, atau keterlambatan budaya. Berakibat tindak kriminal.

Tapi bisa dimaklumi, Menteri Pendidikan, Nadie Makarim lulusan Brown University, AS, sepertinya juga memerintahkan kurikulum pendidikan seks.

Terbukti, ketika ia menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) ia dikecam habis soal kata "dengan persetujuan perempuan". Sampai, Nadiem menjelaskannya bersama Cinta Laura di podcast Dedy Corbuzier. Meski peraturan itu akhirnya disahkan 31 Agustus 2021.

Pokoknya, soal seks bagi masyarakat kita selalu dihebohkan. Tabu, tapi mau. Tak peduli dampaknya bahaya seperti kasus Jember. (*)



www.harianrakyat.com
Redaksi | Disclaimer | Dewan Pers