Carok terjadi di Desa Tanah Merah Laok, Bangkalan, Madura, Minggu, 4 Juni 2023. Satu tewas, enam luka. Kapolres Bangkalan, AKBP Febri Isman Jaya kepada pers, Senin (5/6) mengatakan, polisi mengusut. “Situasi Madura aman,” ujarnya.
—---------
Peristiwa itu juga beredar videonya di medsos, ada suara: "Carok… carok… di daerah Laok."
Di video tampak seorang pria lunglai berdarah-darah di tanah. Ia masih hidup. Ia hanya mengedipkan mata, tak mampu berbicara. Bahkan di video lain yang beredar, pria yang sama duduk di tepi jalan. Mungkin ia sudah diseret, minggir.
Sampai Senin malam, polisi belum bisa memberi gambaran kejadian. AKBP Febri mengatakan: "Tim kita dari Polsek dan Polres bergerak cepat untuk meredamnya.”
Dilanjut: "Kami juga sudah menempatkan teman-teman Brimob Polda Jatim untuk mencegah kejadian semakin meluas."
Empat korban luka dilarikan ke RSUD Syrifa Ambami Rato Ebuh (Syamrabu). Sementara dua lainnya yang lebih parah, dibawa ke rumah sakit di Surabaya.
Tidak banyak orang tahu tentang carok. Apalagi bagi orang bukan Madura. Masyarakat cuma dengar-dengar, katanya-katanya. Tidak valid. Sebab carok sesungguhnya dilakukan secara rahasia. Hanya diketahui tiga pihak: Dua pihak yang berkonflik, dan sesepuh adat.
Carok, beda dengan perkelahian biasa, atau tawuran. Carok budaya khas Madura, sejak ratusan tahun silam. Banyak kejadian berdarah, menggunakan senjata clurit, apalagi kejadian di Madura, disebut carok. Padahal belum tentu.
Tidak ada literatur valid, sejak kapan carok ada. Kata ‘carok’ dari bahasa Kawi artinya perkelahian.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, Emy Handayani dan Fatih Misbah dalam karya ilmiah berjudul “Carok, di Persimpangan Budaya dan Hukum Positif” publikasi di Jurnal Crepindo, 1 Juli 2019, memaparkan hasil riset tentang carok.
Diungkap, budaya carok merupakan sarana penyelesaian sengketa di Madura. Fungsinya sama seperti pengadilan di zaman modern. Tapi, carok pengadilan dengan kekerasan. Pelakunya berakhir dengan kematian.
Sumber data riset, data primer dikutip dari dua buku: “Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura” karya A. Latief Wiyata. Juga buku “Manusia Madura” karya Mien Rifai (2007).
Data sekunder dari buku berjudul “Etika” karya Kees Bertens, pakar ilmu filsafat Belanda. Dilengkapi wawancara, jajak pendapat individu dan kelompok, serta hasil observasi dari suatu obyek, kejadian, atau hasil pengujian.
Penelitian bertujuan mengetahui nilai-nilai budaya carok, terkait hukum pidana Indonesia.
Bagi masyarakat Madura, carok merupakan pemulihan harga diri yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita. Jika terjadi sengketa antara dua pihak, atau lebih, maka cara pengadilannya dengan carok.
Disebut pemulihan harga diri, selaras dengan istilah “Lakona daging bisa ejai’, lokana ate tada’ tambana, kajaba ngero’ dara.” Arti, daging yang terluka masih bisa dijahit, tapi jika hati yang terluka tidak ada obatnya, kecuali minum darah.”
Atau ungkapan lain, bunyinya: Lebi bagus pote tolang atembang pote mata. Arti, lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu.
Di situ jelas menyangkut kehormatan, khususnya lelaki. Jika terjadi sengketa menyangkut harta, tahta, dan wanita. Dan, memang tiga hal ini kebutuhan dasar lelaki secara universal.
Konflik terkait tiga hal tersebut, awalnya diselesaikan oleh tetua adat. Jika konflik bisa diselesaikan musyawarah, maka persoalan selesai. Tapi jika tidak, maka terjadi carok, perkelahian dua pihak atau lebih.
Para pelaku carok sebelum bertarung, melakukan tiga hal berikut ini:
1) Kadigdayan. Berupa latihan beladiri menggunakan clurit. Terutama, menguasai cara ayunan clurit agar tidak lepas dari tangan.
2) Tamping sereng. Meminta jampi-jampi kekebalan supranatural dari orang yang dipandang punya kekuatan supranatural. Dalam praktik di lapangan, memang ada pelaku carok yang kebal, tidak terluka dibacok clurit.
3) Banda. Modal yang harus dikeluarkan para pelaku, untuk dipertaruhkan. Besaran terserah para pelaku. Tidak ada batasan. Bisa uang, hewan atau hasil bumi. Pelaku yang menang berhak memiliki harta tersebut.
Dengan begitu perilaku warga suku Madura sering dikesankan atas dasar prasangka subjektif oleh orang di luar Madura, yang tidak mengetahui bahwa carok bagian dari budaya.
Kesan demikian muncul suatu pencitraan yang tidak tepat, baik berkonotasi positif maupun negatif. Prasangka subjektif itulah yang seringkali melahirkan persepsi dan pola pandang yang keliru sehingga menimbulkan keputusan individual secara sepihak yang ternyata keliru karena subjektifitasnya.
Indonesia dikenal mempunyai budaya yang sangat beragam. Tidak semua budaya dapat dipertahankan seterusnya, karena nilai yang terkandung sudah tidak sesuai seiring perkembangan zaman.
Salah satu yang tidak sesuai adalah budaya carok.
Dikutip dari buku karya R. Soesilo berjudul "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal", pada Pasal 182 KUHP dijelaskan:
KUHP tidak memberikan definisi tentang “berkelahi satu lawan satu” atau duel. Maka, carok tidak diadopsi dalam undang undang, alias ilegal.
Riset dosen Undip itu tidak merinci kronologi sebelum terjadinya carok. Padahal, penting sebagai pemahaman masyarakat terhadap budaya Madura.
Saya pernah wawancara dengan sesepuh adat (pria) di Kecamatan Blega, Bangkalan, Madura. Usianya kini 72 tahun. Diceritakan prosesi terjadinya carok. Pastinya diawali konflik antara pihak A dengan B. Dasar terjadinya konflik menyangkut tiga hal di atas. Tapi bisa juga akibat dendam lama.
Dijelaskan sesepuh (keberatan disebut namanya) itu, bahwa carok tidak gampang terjadi. Perkelahian biasa, bukan carok. Pada tahun 1980-an ke bawah masih sering terjadi carok. "Pokoknya, sebelum ada Petrus," ujarnya.
Maksudnya, penembakan misterius, disingkat Petrus. Itu kebijakan pemerintah Orde Baru 1982-1983 memberantas preman. Ribuan preman di Jatim, khususnya Surabaya, dibunuh aparat tanpa diadili. Mayat-mayat tergeletak di tempat-tempat sepi. Kebijakan itu ampuh. Indonesia bebas preman.
Sesepuh: "Setelah Petrus sampai sekarang, sangat jarang terjadi carok."
Diceritakan, konflik awalnya dibawa ke sesepuh adat. Di situ sesepuh adat berusaha mencari titik temu konflik, agar kedua pihak berkonflik bisa didamaikan. Pertemuan segi tiga antara pihak berkonflik dengan sesepuh.
Musyawarah tidak hanya sekali. Frekuensi musyawarah ditentukan sesepuh. "Bisa sampai puluhan kali," ujar sesepuh. "Biasanya, belum sampai sepuluh kali musyawarah, sudah dicapai kesepakatan. Persoalan selesai," tambahnya.
Para pihak berkonflik umumnya menghindari carok. Sebab, carok adalah pertarungan menggunakan clurit, sampai salah satunya mati.
Jika kedua pihak sama-sama egois, dan sama-sama bertekad mati, baru-lah terjadi carok. Pelaksanaannya dirahasiakan dari publik, tapi disaksikan sesepuh adat sebagai semacam juri.
Hari pelaksanaan dan lokasi carok ditentukan bersama. Tiga hari menjelang hari H, dilakukan pertemuan makan bersama tiga pihak: Para pihak berkonflik dan sesepuh. Biasanya di rumah sesepuh.
Jika salah satu pihak berkonflik tidak hadir, berarti carok dinyatakan batal. Sesepuh menyatakan, carok batal. Konflik tetap belum selesai, akan dilakukan musyawarah ulang. Jika carok sudah dinyatakan batal lalu ada pihak berkonflik menyerang musuh, berarti pelanggaran. Penyerangnya akan dihukum adat.
Sampai pada titik puncak, di acara pertemuan makan bersama, semua pihak hadir. "Itulah sebenarnya musyawarah terakhir. Karena sesepuh akan menjelaskan lagi dan lagi, konsekuensi carok. Salah satunya pasti mati," ujar sesepuh.
Di pertemuan makan bersama itu, boleh saja terjadi kesepakatan damai. "Kebanyakan memang damai di pertemuan terakhir ini," katanya.
Tapi jika tidak ada pihak yang mengalah, carok akan digelar tiga hari kemudian. Pada pertemuan terakhir itulah masing-masing pihak bertikai menyebutkan besaran 'banda' yang dipertaruhkan.
Misal, pihak A mempertaruhkan dua ekor sapi miliknya. Pihak B mempertaruhkan seekor ayam. Besaran terserah pelaku. Harta itu wajib dibawa saat pelaksanaan carok. Harta akan dibawa pulang pihak yang menang.
"Penyebutan banda ini juga bersifat gertakan. Semakin tinggi nilainya, bisa membuat pihak lawan grogi, lalu membatalkan carok. Boleh dibatalkan, sebelum pertemuan itu bubar," tutur sesepuh.
Seandainya hasil pertemuan akhir tidak ada pihak mengalah, barulah digelar carok. Disaksikan sesepuh. Sebagai wasit.
Dari situ tampak, berlapis-lapis upaya perdamaian dalam musyawarah untuk mencapai mufakat. Berkali-kali sesepuh mengupayakan damai. Jalan terakhir hanya carok.
"Sebenarnya saat carok, sesepuh sangat sedih. Sesepuh merasa gagal jadi juru damai. Carok terpaksa dilakukan, supaya pihak-pihak yang berkelahi tidak saling menyerang secara tidak adil, di suatu hari," tutur sesepuh.
Apakah peristiwa di Desa Tanah Merah Laok, Kecamatan Tanah Merah, Bangkalan, itu benar-benar carok? Masih diselidiki polisi. (*)