Seorang Anak bangsa penyelamat BUMN, yang mampu menghidupkan kembali BUMN PT Djakarta Lloyd (Persero) dari perusahaan yang sudah mati bisa dihidupkan, Syahril Japarin kini mendekam di penjara KPK Salemba, Jakarta Pusat.
Syahril Japarin dikriminalisasi pada kasus korupsi di Perum Perindo, padahal dalam persidangan tidak ada bukti yang menunjukkan dia melakukan korupsi.
Hal itu terungkap dalam seminar yang diselenggarakan Program Pasca Sarjana Universitas Jayabaya yang menggelar webinar online bertema "Mencegah Kriminalisasi Direksi BUMN" pada Rabu (26/10/2022).
Webinar itu membedah kasus terhadap kasus dugaan korupsi yang menimpa eks Direktur Utama Perum Perindo Syahril Japarin, diikuti 223 peserta dari berbagai kalangan, direksi BUMN, alumni ITB, pakar hukum dan sejumlah wartawan.
Kredibilitas dan kapasitas Syahril Japarin telah mengantarkannya menjadi pilihan untuk mendapatkan penugasan dari Kementerian BUMN.
Setelah selesai bertugas dari PELNI, pada periode penugasan kepada Syafril Japarin selanjutnya di Perum Perindo sejak 17 Maret 2016 - 11 Desember 2017, Syahril ditempatkan di Perum Perindo, sekitar satu tahun sembilan bulan.
Saat memimpin Perum Perindo, guna meningkatkan pendapatan ia menerbitkan MTN untuk pengembangan bisnis ikan.
Selama dalam kendalinya, bisnis ikan ini dapat berjalan sesuai harapan, bisa memberikan keuntungan bagi Perum Perindo.
Sayangnya kepergianya dari Perum Perindo para penggantinya memanfaatkan MTN ini untuk terus berbisnis ikan namun pendapatan dan pengeluaran tidak terkontrol dan menyebabkan kerugian negara.
Syahril Japarin yang sedang menjalani tugas sebagai Deputy Dua BP Batam didakwa ikut serta dalam kasus korupsi di Perum Perindo, sehingga Kejaksaan Agung menangkapnya. Syahril Japarin dikurung di Rutan Kejaksaan Agung di Salemba sejak oktober 2021, sudah setahun.
Guna menghadapi proses hukum sejumlah saksi dan dan data-data disajikan dalam persidangan. Dalam sebuah kesimpulan Syahril Japarin tidak terbukti ikut serta dalam kasus korupsi di Perum Perindo.
Baik dari segi periode kejadian, dan fakta-fakta tidak komunikasi, menerima gratifikasi dan bukti-bukti lain tidak ada indikasi Syahril Japarin terlibat didalamnya.
Syahril Japarin dituntut dan dipenjara selama 8 tahun. Dengan demikian Syahril Japarin telah dikriminalisasi.
Kriminalisasi Syahril Japarin diangkat dalam Seminar Webinar Program Pasca Sarjana Universitas Jayabaya, Jakarta Rabu, 26 Oktober 2022. Beberapa media meliputnya, diantaranya Liputan6.com dan Tribun.com Jakarta, termasuk penulis ikut serta seminar hukum tersebut. Dari seminar tersebut dapat dirangkup berbagai keterangan dan kesaksian para narasumber.
Ahli hukum pidana Universitas Al-Azhar Supardji Ahmad menyebut banyak regulasi yang tidak sinkron dan dapat mengarah ke dugaan rasuah dan kriminalisasi.
"Berbagai regulasi itu membuat BUMN berada dalam posisi dilematis. Pada satu sisi dituntut produktif sebagai entitas bisnis pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat, tapi di sisi lain ada jeratan-jeratan tindak pidana korupsi," kata Supardji dalam webinar dikutip Sabtu, 29 Oktober 2022.
Di sisi lain, Supardji mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengelolaan BUMN. Sebab, ada klausul mengenai keuangan BUMN yang dikategorikan keuangan negara, sehingga mengedepankan prinsip business judgement rules.
"Tafsir putusan MK itu tidak jelas implementasinya. Ketika sudah hati-hati, sudah cermat, tidak ada konflik kepentingan, tapi mengalami kerugian, itu akhirnya juga dijerat tindak pidana korupsi," beber Supardji.
Dia mencontohkan eks Dirut Pertamina, Karen Agustiawan, yang terjerat tindak pidana korupsi investasi perusahaan di Blok Baster Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009. Dia akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung (MA).
Selain Karen, ada pula Syahril Japarin, mantan Dirut Perum Perindo yang dihukum penjara 8 tahun. Eks kuasa hukum Syahril, Muhammad Rudjito, menyebut tak mudah bagi direksi mencegah dugaan korupsi yang dilakukan anak buah.
Menurut dia, Syahril tersangkut kasus karena menerbitkan medium term note (MTN) atau surat utang jangka menengah. Rudjito mengeklaim hal itu merupakan itikad baik Syahril mengembangkan Perum Perindo sebagai temasek perikanan di Indonesia.
"Beliau sudah berupaya maksimal bagaimana membuat MTN dan fasilitas kredit lainnya, yang dipergunakan untuk keperluan Perindo, agar korporasi Perindo bisa berkembang, tidak macet sebagaimana yang dialami pengurus-pengurus sebelumnya," ujarnya.
Dia menyebut penerbitan itu sesuai persetujuan dewan pengawas dan Kementerian BUMN. Hal tersebut diterbitkan dalam penggunaan dana MTN pada 2017, saat Syahril menjabat Dirut.
"Oleh karena itu, apabila pemegang saham, dalam hal ini Kementerian BUMN, sudah menyetujui, seharusnya tidak ada masalah dari sisi Pak Syahril," tegas Rudjito.
Observer persidangan dari Sequoia Associate Agust Saputra Doloksaribu menyatakan tiga dakwaan yang ditimpakan jaksa kepada Syahril dinilai tidak terbukti. Seharusnya, kata dia, Syahril harus dibebaskan.
"Demikianlah SJ (Syahril Japarin) sepatutnya diperlakukan dalam perkara ini," ucap Agust.
Mantan Hakim Pengadilan Tipikor Sofialdi mengungkapkan perbuatan merugikan keuangan negara terjadi setelah Syahril tidak menjabat sebagai Dirut Perum Perindo. Syahril hanya menjabat selama Januari 2016 sampai Desember 2017.
"Terlihat majelis hakim telah mengesampingkan Tempus delicti atau waktu tindak pidana dilakukan," kata dia.
Jadi, tidak pada tempatnya menurut hukum SJ selaku Direktur Utama dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan dan kesalahan yang tidak pernah dilakukannya, terlebih-lebih SJ tidak pernah menikmati hasil penyimpangan atau penyalahgunaan uang Perindo.
Motif SJ melakukan transaksi peminjaman bank dan menandatangani/menerbitkan MTN Seri A adalah didasarkan pada itikad baik, yaitu untuk mengembangkan Perindo agar lebih maju, sehingga perbuatannya tersebut tidak memiliki hubungan kausal (causal verband) dengan perbuatan SEVP, Wenny Prihantini, Riyanto Utomo, Lalam Sarlam dan pihak-pihak lainnya yang diduga menyalahgunakan dan menikmati hasil dari penyalahgunaan keuangan Perindo.
SJ juga tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan yang terjadi pasca terdakwa sudah tidak lagi menjadi Direktur Utama Perindo per 11 Desember 2017.
Dalam hal ini terbukti di persidangan, menurut keterangan saksi Wenny Prihantini di BAP nya tanggal 24 Agustus 2021 No. 20 hal 40 dan keterangannya di persidangan, keterangan ahli BPK, keterangan saksi Riyanto Utomo, Lalam Sarlam, penyaluran atau pencairan uang oleh Perindo kepada GPS yang tidak dibayar kembali terjadi pada tahun 2018, yang dapat diperinci dimulai pada pencairan yang ke 155 tanggal 22 Desember 2017 sebesar Rp. 350 juta dan seterusnya, walaupun sudah macet pencairan-pencairan tersebut tidak dihentikan oleh SEVP.
Adapun pencairan Perindo yang mulai tidak dibayar oleh KBT adalah pencairan tanggal 16 Maret 2018 sebesar Rp. 1.921.500.000 dan seterusnya, walaupun sudah macet pencairan inipun juga tidak dihentikan oleh SEVP. Pencairan uang oleh Perindo kepada GPS dan KBT yang tidak berusaha dihentikan oleh SEVP dan akhirnya menjadi piutang macet di tahun 2018 yang tidak terbayarkan oleh GPS berjumlah lebih dari Rp. 62 milyar dan oleh PT KBT lebih dari Rp. 44 milyar.
Ironisnya, uang Perindo yang seharusnya untuk membeli ikan malah disalahgunakan oleh PT GPS/ Riyono Utomo untuk membeli aset Rp 25,6 milyar dan disalahgunakan oleh PT KBT/Lalam Sarlam untuk membeli aset dan bayar gaji pegawai/THR sejumlah Rp. 25 miliar.
Dakwaan yang menyatakan bahwa MTN diterbitkan tanpa persetujuan menteri BUMN dan penggunaannya dialihkan dari perikanan tangkap kepada perdagangan ikan, secara sistimatis dan tegas telah terbantahkan dengan adanya Surat Menteri BUMN tanggal 6 Juni 2018, yang substansinya adalah menyetujui penerbitan dan penggunaan dari MTN sejumlah Rp. 200 milyar.
Oleh karena itu kalau menteri BUMN selaku pemegang saham dan wakil pemerintah sudah menyetujui penerbitan dan penggunaannya, maka sudah seharusnya tidak ada lagi alasan untuk menyatakan bahwa MTN diterbitkan tanpa persetujuan dan ada pengalihan penggunaan.
Dan faktanya pula, tidak ada pengalihan penggunaan dari perikanan tangkap kepada perdagangan ikan, karena menurut saksi Aslam Bashir berdasarkan rekapitulasi per 2019 untuk MTN seri A sejumlah Rp. 100 milyar, juga dipergunakan untuk keperluan perikanan tangkap (FO), porsinya bahkan lebih besar daripada yang dipergunakan untuk keperluan perdagangan ikan.
Oleh karena itu jika terjadi penyimpangan dalam penggunaannya dana yang berasal dari perbankan maupun dari MTN, maka hal itu menjadi tanggung jawab dari si pelaku yang melakukan penyimpangan. ***