Jakarta, HARIAN RAKYAT- Pefindo (PT Pemeringkat Efek Indonesia) menurunkan peringkat surat utang sejumlah emiten yang memiliki afiliasi dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penurunan peringkat itu terutama terjadi di sektor konstruksi dan properti.
Penurunan tersebut tidak disebabkan oleh status BUMN perusahaan, melainkan adanya faktor fundamental industri dan kondisi keuangan masing-masing emiten.
Head of Non-Financial Institution Ratings 2 Pefindo, Yogie Surya Perdana, menjelaskan bahwa dua industri tersebut kini sendang menghadapi tekanan akibat lemahnya permintaan dan terbatasnya akses pendanaan.
“Berbicara soal penurunan peringkat pada BUMN, itu tidak bisa disamaratakan. Bukan karena mereka BUMN lalu otomatis peringkatnya turun. Ini kasus per kasus dan sangat dipengaruhi oleh kinerja sektoral,” kata Yogie, saat press conference virtual, Kamis (16/10/25).
Menurut Yogie, kepercayaan investor terhadap sektor konstruksi memang sedang melemah. Tentunya ini berimbas langsung pada kemampuan emiten melakukan fundraising dan refinancing. Risiko pembiayaan meningkat karena penurunan sentimen pasar,” jelasnya.
"Sektor konstruksi masih menjadi industri dengan tekanan paling berat sepanjang 2025. Salah satu contohnya adalah PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), yang peringkatnya oleh Pefindo diturunkan dua kali, dari BB menjadi CCC, dan kemudian menjadi selective default (SD)," ungkap Yogie.
Lebih lanjut Yogie memaparkan, Pefindo mencatat lemahnya arus kas dan tingginya beban utang jangka pendek membuat emiten konstruksi seperti WIKA menghadapi tantangan besar dalam menjaga likuiditas. Proyek infrastruktur yang membutuhkan pembiayaan besar juga memperberat posisi keuangan di tengah minimnya dukungan pendanaan baru dari pasar modal.
"Selain sektor konstruksi, penurunan peringkat juga terjadi pada beberapa emiten di sektor properti yang berafiliasi dengan BUMN Karya, seperti PT Adhi Commuter Properti Tbk (ADCP) dan PT PP Properti Tbk (PPRO)," paparnya.
Yogie mengatakan meskipun pemerintah telah memperpanjang insentif PPN ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 100% hingga akhir Desember 2025 dan Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan, dampaknya belum dirasakan merata di seluruh pengembang.
“Regulasi yang bersifat supportive seperti PPN DTP dan penurunan suku bunga seharusnya positif bagi sektor properti. Tetapi efeknya tidak sama rata karena bergantung pada product mix masing-masing emiten,” kata Yogie.
ADCP dan PPRO, memiliki portofolio proyek yang didominasi pengembangan high-rise seperti apartemen dan hunian vertikal. Banyak proyek tersebut masih dalam bentuk ready stock atau inventory, namun belum berhasil dikonversi menjadi penjualan.
“Karena proyek high-rise mereka banyak yang belum laku atau masih tersimpan dalam inventory, kemampuan menghasilkan arus kas (cashflow) menjadi terbatas. Kondisi inilah yang memengaruhi kualitas kredit mereka,” tuturnya.
Kendatidemikian, Pefindo sempat menaikkan peringkat PPRO dari Selective Default (SD) menjadi CCC setelah perseroan mencapai kesepakatan homologasi dengan kreditur dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Namun, secara fundamental, kondisi keuangannya masih perlu diperkuat.
“Upgrade peringkat PPRO lebih karena keberhasilan mereka menyelesaikan PKPU, bukan karena fundamental yang membaik signifikan. Tantangan mereka tetap sama, yakni bagaimana mengubah aset dalam bentuk inventory menjadi cashflow yang kuat,” pungkas Yogie.
Diketahui sampai 30 September 2025, Pefindo sudah mempublikasikan 94 peringkat terhadap 54 entitas nonjasa keuangan.
Dari total tersebut, kegiatan pemeringkatan terbanyak berasal dari sektor construction & engineering dan property development, ini mencerminkan tekanan di dua industri utama tersebut. ***